Jumat, 20 Mei 2011

PSI


PENGERTIAN STUDI ISLAM DAN ARTI PENTING MEMPELAJARINYA


            Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi IAslam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memhami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.
            Studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1) Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran Islam pada hakikatnya membimbing manusia untuk  berbuat kebajikan dan menjauhi semua larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.
           
Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh  kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dam motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan mat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi). Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun negative.
            Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal dengan kaum orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di kalangan dunia orang Islam. Dalam praktiknya, studi Islam yang dilaukan oleh mereka, terutama pada masa-masa awal mereka melakukan studi tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang kekurangan-kekurangandan kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pemgalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari uamat Islam. Nmaun, pada masa akhir-akhir ini banyak juga di antara para orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu kan bisa bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri.
            Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah masa keemasan Islam dan umat Islam sudah memasuki masa kemundurannya) bahwa pendekatan studi Islam yang mendominasi kalangan umat Islam lebih cenderung bersifat subjektif, apologi, dan doktriner, serta menutup diri terhadap pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat objektif dan rasional. Dengan pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits –yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan zaman- telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-sebtuhan rasional, tuntutan perubahan, dan perkembangan zaman. Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam terkesan mandek, membeku dan ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan yang demikian inilah yang menjadi sasaran objek studi dari kaum orientalis dalam studi keislamannya.
            Dengan adanya kontak budaya modern dengan budya Islam, mendorong para Ulama’ tersebut untuk bersikap objektif dan terbuka terhadap pandangan luar yang pada gilirannya pendekatan ilmiah yang bersifat rasional dan objektif pun memasuki dunia Islam, termasuk pula dalam studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri. Maka, dengan menampilkan kajian yang objektif dan ilmiah, maka ajaran-ajaran Islam yang diklaim sebagai ajaran universal bisa menjadi berkembang dan menjadi sangat relevan dan dibutuhkan oleh umat Islam serta betul-betul mampu menjawab tantangan zaman.

TUJUAN STUDI ISLAM
            Studi Islam, sebagai usaha untuk mempelajari secara mendalam tentang Islam dan segala seluk-beluk yang berhubungan dengan agama Islam, sudah tentu mempunyai tujuan yang jelas, yang sekaligus menunjukkan kemana studi Islam tersebut diarahkan. Dengan arah dan tujuan yang jelas itu, maka dengan sendirinya studi Islam akan merupakan uasha sadar dan tersusun secara sistematis.
            Adapun arah dan tujuan studi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Untuk mempelajari secara mendalam tentang apa sebenarnya (hakikat)agama Islam itu, dan bagaimana posisi serta hubungannya dengan agama-agama lain dalam kehidupan budaya manusia; 2) Untuk mempelajari secara mendalam pokok-pokok isi ajaran agama Islam yang asli, dan bagaimana penjabaran serta operasionalisasinya dalam pertumbuhan dan perkembangan budaya dan peradaban Islam sepanjang sejarahnya; 3) Untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran agama islam yang tetap abadi dan dinamis, dan bagaimana aktualisasinya; 4) Untuk mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip dan nili-nilai dasar ajaran agama Islam, dan bagaimana realisasinya dalam membimbing dan mengarahkan serta mengontrol perkembangan budaya dan peradaban manusia pada zaman modern ini.
            Selanjutnya dengan tujuan-tujuan tersebut diharapkan agar studi Islam akan bermanfaat bagi peningkatan usaha pembaruan dan pengembangan kurikulum pendidikan Islam pada umumnya, dalam usaha transformasi kehidupan sosial buday sert agama umt Islam sekarang ini, menuju kehidupan sosial-budaya modern pada generasi-generasi mendatang, sehingga misi Islam sebagai rahmah lil ‘alamin dapat terwujud dalam kehidupan nyata di dunia global

URGENSI STUDI ISLAM
            Pada sat ini, umat Islam sedang menghdapi tantangan dari kehidupan dunia dan budaya modern, studi keislaman menjadi sangat urgen. Urgensi studi Islam dapat dipahami dan diuraikan sebagai berikut:
I.        Umat Islam saat ini Berada Dalam Kondisi Problematis
Saat ini umat Islam masih berada dalam posisi pinggiran (marginal) dan lemah dalam segala bidang kehidupan sosial budaya. Dalam kondisi ini, umat Islam harus bisa melakukan gerakan pemikiran yang dapat menghasilkan konsep pemikiran yang cemerlang dan operasional untuk mengantisipasi perkembangan dan kemajuan tersebut. Dalam posisi problematis ini, jika umat Islam hanyab berpegang pada ajaran0ajaran Islam hasil penafsiran ulama’ terdahulu yang merupakan warisan doktriner turun temurun dan dianggapnya sebagai ajaran yang sudah mapan, sempurna, dan sudah paten, serta tidak ada keberanian untuk melakukan pemikiran ulang, berarti mereka mengalami kemandekan intelektual yang pada gilirannya akan menghadapi masa depan yang suram.
Di sisi lain, jika umat Islam melakukan usaha pembaruan dan pemikiran kembali secara kritis dn rasional terhadap ajaran-ajaran agama Islam guna menyesuaikan terhadap tuntutan perkembangan zaman dan kehidupan modern, maka akan dituduh sebagai umat yang meninggalkan atau tidak seti lagi terhadap ajaran Islam warisan Ulama’ terdahulu yang dianggapnya sudah mapan dan sempurna tersebut.
Melalui pendekatan yang bersifat rasional-obyektif, studi Islam diharapkan: 1) Mampu memberikan alternatif pemecahan masalah atau jalan keluar dari kondisi yang problematis tersebut; 2) Dapat mengarah kepada dan bertujuan untuk mengadkan usaha-usaha pembaharuan dan pemikiran kembali ajaran agama Islam agar mampu beradaptasi dan menjawab tantangan zaman dan dunia modern denga tetap berpegang teguh pada sumber ajaran agama Islam yang asli, yaitu Al-Qur’an dan as-Sunnah; 3) Mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup bagi umat Islam, agar tetap menjadi seorang muslim sejati, yang mampu menjawab tantangan pada era globalisasi ini.

II.     Umat Manusia dan Peradabannya Berada dalam Suasana Problematis
Pesatnya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern telah membuk era baru dalam perkembangan budaya dan peradaban umat manusia, yang dikenal dengan era globalisasi. Pada era ini ditandai dengan semakin dekatnya hubungan komunikasi antarbangsa dan budaya umat manusia.
Pada suasana smacam ini tentunya umat manusia membutuhkan aturan-aturan, nilai-nilai dan norma-norma serta pedoman dan pegangan hidup yang universal dan diakui atau diterima oleh semua bangsa. Sementara itu tekhnologi modern jusru semakin menjadikan manusia-manusia modern kehilangan idntitas diri, menurunkan derajat kemanusiaan, dan menyebabkan terjadnya proses dehumanisasi, yang menjadikan manusia kehilangan sifat-sifat manusiawinya.
Dengan demikian, manusia modern pun berada dalam kondisi yang serba problematis. Jika ilmu pengetahuan dan tekhmologi modern dibiarkan berkembang terus secara bebas tanpa kontrol dan pengarahan, maa akan menyebabkan terjadinya kehancuran dan malapetaka yang mengancam kelangsungan hidupnya dan peradaban manusia itu sendiri.
Pengetahuan menjadi terpisah dari nilai; kekuatan besar telah dicapai,tetapi tanpa kebikajsanaan. Manusia telah menciptakan kekuatan besar dalam bidang sains dan tehnologi, tetapi kekuatan-kekuatan itu sering digunakan untuk merusak (destruktif). Manusia telah mampu menemukan cara-cara untuk memperoleh keamanan dan kenikmatan, tetapi pada waktu yang sama mereka merasa tidak aman dan risau, karena mereka tidak yakin akan arti kehidupnnya, tidak memiliki kebermaknaan hidup dan tidak tahu arah mana yang mereka pilih dalam kehidupan itu.
Situasi semacam ini bukan hnaya menimpa dan merupakan tantangan bagi bangsa-bangsa modern, tetapi ia juga menimpa dan merupakan tantangan bagi selruh umat manusia di seluruh dunia, termasuk di dalamnya umat Islam. Sebagai agama rahmah lil ‘alamin, Islam tentunya mempunyai onsep-konsep atau ajaran-ajaran yang bersifat manusiawi dan universal, ayng dapat menyelamtkan manusia dan alam smesta dari kehancurannya. Karena itu, Islam harus bisa menawarkan nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan hidup yang bersifat manusiawi dan universal itu kepada dunia modern, dan dharapkan dapat memberikan alternatif-alternatif pemecahan terhadap keadaan problematis.
Disinilah letak urgensi studi Islam, untuk menggali kembali ajaran-ajaran Islam yang murni, dan yang bersifat menusiawi dan universal, yang mempunyai daya untuk mewujudkan dirinya sebagai rahmah lil ‘alamin

            Adapun situasi keberagamaan di Indonesia cenderung menampilkan kondisi keberagmaan yang leglistik-formalistik. Agama harus dimanifestasikan dalam bentukritual formal, sehingga muncul formalisme keagamaan yang lebih mementingkan “bentuk” daripada “isi”. Kondisi seperti itu, menyebabkan agama kurang dipahami sebagai dasar moral dan etika yang bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, ataupun kebobrokan moral. Di samping itu, formalisme keagamaan yang cenderung induvidualistik daripada kesatuan sosial mengakibatkan munculnya sikap negatif seperti nepotisme, kolusi dan korupsi. Oleh karenanya, signifikasi studi Islam di Indonesia adalah mengubah pemahaman dan penghyatan keislaman masyarakat Muslim-Indonesia secara khusus, dan masyarakat agama pada umumnya.

PENGERTIAN IJTIHAD
            Secara etimologi ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-Masyaqqoh (yang sulit yang susah). Namun dalam Al-Qur’an kata jahda sebagaimana dalam surat an-Nahl: 38, an-Nur: 53, Fathir: 42 semuanya mengandung arti badzl al-wus’i wa thaqati (pegerahan segala kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti al-Mubalaghah fi al-yamin (berlebih-lebihan dalam sumpah)
            Al-Zubaidi berpendapat bahwa kata juhda dan jahda mempunyai arti kekuatan dan kesanggupan, sedang bagi Ibnu Katsir  jahda berarti yang sulit, berlebih-lebihan atau bahkan tujuan, sedang Sa’id l-Tafani memberikan arti ijtihad dengan tahmil al-juhdi (ke arah yang membutuhkan kesungguhan) kendati semua arti itu, maka ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupn dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas puncaknya.
            Ibrahim Hosen mengindektikkan (murodif) maka ijtihad dengan al-istinbath. Istinbath berasal dari kata nabath (air yang mula-mula memancar dari sumur yang digali). Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbath sebagai padanan kata ijtihad adalah mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya.
            Adapun arti ijtihad dari terminologinya, para Ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.          Diantara definisi tersebut adalah:
الاجتهاد بذل الواسع فى نيل حكم شرعي عملي بطريق الاستنباط
Sedangkan menurut Imam Al-Amidi,-dengan menambahkan kata - - الفقيه , yang dimaksud ijtihad adalah:
الاجتهاد استفراغ الفقيه الوسع في طلب الظن بشيء من الاحكام الشرعية بحس من النفس العجز عن المزيد عليه
Ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuan yang telah ada untuk mencari hukum syara’ yang sifatnya zhanniy sampai dirinya merasa tidak mampu lagi untuk mencari tambahan kemampuannya

      Dari rumun definisi ijtihad tersebut, ditemukan adanya pemahaman yang sangat luas dan saling terkait antara satu kata dengan kata lainnya, yaitu:
a.       Kata بذل الواسع atau استفراغ الوسع bisa dijadikan sebagai alat untuk mengecualikan segala bentuk hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan, sebab yang dimaksud kedua kata tersebut adalah berusaha semaksimal mungkin sampai merasa tidak mampu lagi untuk menambah usahanya. Selain itu, uapaya ijtihad tidak main-main, karena itu dibutuhkan upaya dan syarat-syarat tertentu bagi mujtahid. Dan konsekuensinya bagi mereka yang salah dalam berijtihad, maka dia masih diberi pahala satu (karena kesungguhannya), dan bagi mereka yang benar, maka mendapatkan pahala dua (karena kebenaran yang dicapai dan kesungguhannya)
b.      Kata  الاحكام الشرعية atau kata حكم شرعي dapat mengecualikan hukum bahasa, akal dan hukum-hukum yang bersifat indrawi. Maka dari itu, orang yang telah mencurahkan segala kemampuan dalam penggalian hukum seperti itu, tidak dapat disebut dengan mujtahid menurut ushulliyyin dan usahanya juga tidak dapat disebut sebagai ijtihad, sekalipun para mutakallimin dinamakan dengan ijtihad.
c.       Kata بطريق الاستنباط (dengan cara mengambil simpulan hukum). Dalam hal ini dapat mengecualikan metode pengambilan hukum dari sisi lahirnya nash (منطوق النص), “hafalan beberapa persoalan”, menanyakan persoalannya pada para ahli atau mufti dan dari sisi pencarian hukum dari literatur yang sudah ada, sebab materi seperti ini tidak masuk dalam kategori ijtihad, baik menurut bahasa maupun istilah.
d.      Kata استفراغ الفقيه الوسع (pencurahan seorang faqih akan semua kemampuan). Dari kata الفقيه  ini, dapat diartikan sebagai orang yang benar-benar menguasai segala bentuk dan macam-macam dasar ilmu fiqh secara baik, bahkan mampu merealisasikan ucapan dalam bentuk praktek sebagai operasionalnya. Hal ini dapat mengecualikan orang-orang yang hanya mengandalkan hafalan untuk masalah-masalah hukum furu’iyyah. Usaha seperti ini tidak bisa dikategorikan sebagai ijtihad.

Perbedaan rata-rata seputar pengertian ijtihad menurut terminologi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah sebagai berikut: a) Penggunaan bahasa. Misalnya ada yang menggunakan istilah istafragha (menghabiskan seluruh kesanggupan) dan ada juga badzl (pengerahan seluruh kesanggupan); b) Subjek ijtihad. Ada yang dinisbatkan pada mujtahid yang konotasinya bahwa upaya ijtihad tidak harus dalam satu bidang, tetapi juga menyangkut bidang lainnya. Dan ada juga yang menggunakan ‘fiqh’ seorang ahli fiqh sehingga hukum yang diijtihadi khusus hukum fiqh.

Dari penjelasan di atas, juga dapat diambil pengertian bahwa dalam masalah ijtihad, ditemukan adanya beberapa unsur yang harus ada di dalamnya, yaitu:
1.      Mujtahid, yaitu orang yang melakukan ijtihad
2.      Masalah yang diijtihadi benar-benar msalah yang membutuhkan pencarian status hukumnya
3.      Metode istinbath (pengambilan kesimpulan pendapat)
4.      Natijah, yaitu hasil atau kesimpulan hukum yang diijtihadi
Disamping itu, dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek, dan target capaian ijtihad, yaitu:
1.      Pelaku ijtihad adalah seorang ahli faqih, bukan yang lain
2.      Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyyah) yaitu hukum yang berhubungan dengan tingkah laku mukallaf
3.      Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah zhanniy, karena hukum itu diciptakan berdasarkan akal pikiran manusia, sehingga dalam satu masalah dapat timbul  berbagai jalan pikiran dan menghasilkan hukum yang berbeda.
Status zhanniy pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya menurut Mujtahid yang bersangkutan porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya,ia salah tapi mengandung kemungkinan benar.

TINGKATAN-TINGKATAN MUJTAHID
      Ulama’ ushul fiqh membedakan derajat para mujtahid dalam beberapa tingkatan menurut kadar keilmuan, kecakapan serta pengalaman masing-masing. Tingkatan-tingkatan tersebut antara lain:
1.      Mujtahid fi al-syar’i atau diistilahkan dengan mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil
Yaitu mujtahid yang memiliki kemampuan untuk menggali hukum syari’at langsung dari sumbernya yang pokok (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan mampu menerapkan metode dan dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasa atas segala aktifitas ijtihadnya. Mujtahid ini dapat dikatakan mutaqil karena mereka mampu mengistinbathkan hukum dari sumber aslinya tanpa terikat oleh suatu madzhab juga pendapat mujtahid lain. Misalnya: Sa’id bin Musayyab, Ibrahim an-Nakha’i (dari generasi tabi’in), imam Abu Hanifah, imam Maliki, imam Syafi’i, imam Ahmad bin Hanbal, Ja’far Shadiq dan lain-lain.
2.      Mujtahid Muntasib atau mujtahid yang berafiliasi atau mujtahid ghair al-mustaqil
Yaitu mujtahid yang telah memiliki semua persyaratan secara sempurna dan dalam melakukan ijtihadnya ia mengikuti ktentuan-ketentuan, tekhnik-tekhnik dan metode yang digunakan atau yang berlau pada madzhab lain. Sekalipun keputusan akhir yang ditetapkan berbeda dan tidak sependapat dengan madzhabnya, khususnya dalam masalah furu;iyyah, atau bahkan bersebrangan dengan keputusan yang telah diambil oleh madzhabnya. Misalnya:
Ø      Hanafiyyah       : Imam Zufar, Mohammad bin Hasan asy-Sayibani, Abu Yusuf
Ø      Malikiyyah        : Ibnu Qosim, imam Asyhab, dan Ibnu Abdi Hakam
Ø      Syafi’iyyah        : Imam al-Muzaniy, al-Buwaithi dan al-Za’faroniy
Ø      Hanbaliyyah      : Ibnu Taimiyyah
3.      Mujtahid fil-Madzhab atau Mujtahid Takhrij atau Mujahid Muqoyyad
Yaitu seorang mujtahid yang dalam istinbathnya selalu mengikuti sistem yang telah dipakai oleh madzhabnya, tidak mau keluar dari madzhab itu, baik dalam masalah unshul atau furu’. Seandainya ia melakuka ijtihad, ijtihadnya terbatas pada asalah yang ketentuan hukumnya tidak ada dalam Imam madzhab yang dianutnya. Karena itu, ia memiliki kemampuan untuk memecahkan beberpa kasus yang belum diijtihadkan oleh para imam madzhabnya dan selebihnya ia melakukan penyelesaian beberapa fatwa hukum (qoul) yang dikutip dari dokumentasi ijtihad imam madzhabnya untuk dinilai mana yang shahih ( اصح ) dan mana yang yang lemah (  اضعف). Misalnya:
Ø      Hanafiyyah       : Imam Hasan bin Ziyad dan Abu Ja’far al-Thahawi
Ø      Syafi’iyyah        : Imam al-Haromain atau al-Juwainiy, Abu Ishaq al-Syairozy, dan al-Mawardi
Ø      Hanbaliyyah      : al-Khiroqy dan lainnya
4.      Mujtahid Murajjih atau lazim disebut dengan istilah “Faqih al-Nafsiy” atau “Mujtahid independen”
Yaitu seorang mujtahid yang tidak mengistinbathkan hukum-hukum furu’, akan tetapi mereka hanya membandingkan (المقارنة) antara beberapa pendapat yang berbeda di kalngan Imam Mujtahid, baik yang masih dalam satu madzhab, maupun dalambeberapa madzhab. Hal ini dilakukan dengan cara menilai mana yang lebih kuat (اقوى) dan lebih benar (ارجح) dalilnya. Misalnya: Imam al-Qodiry dan imam Al-Marghinani dari kalangan madzhab Hanafi, imam Nawawi, imam Rofi’iy, imam Romli dan Ibnu Hajar al-Haitami dari kalangan madzhab Syafi’i.

ASPEK-ASPEK YANG BOLEH DIIJTIHADI
      Doktrin pemikiran bebas, bukan berarti tanpa batas, tetapi dalam masalah ijtihad memiliki beberapa persyaratan khusus, baik bagi segi mujtahid sendiri maupun mujtahid alaih (lapangan ijtihad) sebagai, sebab realitanya tidak semua orang dapat berijtihad dan tidak semua ajaran Islam dapat diijtihadkan. Hal ini terjadi karena adanya dua sifat yang ada di dalam ajaran Islam itu sendiri, yaitu:
1.      Sifat Ta’abbudiyah (unchangeable), yaitu melaksanakan apapun bentuk yang diperintahkan agama dengan tidak mempertanyakan “Mengapa demikian..” dan “Bagaimana hal itu bisa menjadi seperti ini...” Sebab dasarnya hanyalah ittiba’ dan sifatnya dikenal dengan kata ibadah.
2.      Sifat Ta’aqqudi (changeable), yaitu suatu hal yang dapat dipahami oleh manusi yang ketetapan hukumnya berdasarkan “maslahah” dan “manfaat” bagi umat manusia. Hal inilah yang lazim dikenal dengan istilah muamalah.
Oleh sebab itu, jika ditemukan adanya operasionalisasi ibadah itu tidak sesuai dengan garis besar ketentuan agama (Misal: sholat Shubuh 3 rokaat), maka praktek amaliyyahnya lazim disebut dengan istilah bid’ah, sebab segala sesuatunya sudah ditentukan.
Hal-hal yang dapat dijadikan objek ijtihad bagi para mujtahid dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu:
1.      Hal-hal yang memang nashnya sudah ada
Maka yang menjadi objeknya terbatas hnaya pada sekedar nash dan mujtahid tidak melampaui batas-batas yang membuat munculnya beberapa kemungkinan dalam dalalahnya (pengertian) yang telah ditunjuk oleh nash itu sendiri. Hal ini dapat dilihat adanya nash yang keadaannya sebagai berikut:
a.       Keadaan nash itu berup al-Qur’an atau hadits mutawatir. Jika kedudukannya bersifat zhanniy dan dalalahnya bersifat qoth’iy, maka objek ijtihadnya para mujtahid adalah melakukan penelitian hukumyang ada pada sisi dalalahnya (pengertian), dalam artian: kedudukan nash terkandung di dalamnya
b.      Keadaan nash berupa hadits. Jika demikian, maka yang perlu dilihat adalah:
1)      Jika kedudukannya bersifat zhanniy dan dalahnya bersifat qoth’iy, maka objek ijtihadnya terbatas hanya penelitian terhadap keshahihan sanad hadits dan hal-hal yang berhubungan dengan matannya.
2)      Jika kedudukan dan dalalahnya itu keduanya bersifat zhanniy, maka objek para mujtahid terbatas pada hal-hal yang mash ada hubungannya dengan keadaan nash, sekalipun dalalahnya menunjukkan adanya beberapa alternatif
2.      Hal-hal yang memang nashnya benar-benar tidak ditemukan
Jika demikian para mujtahid bebas dan tidak terikat, sehingga untuk menentukan dan menemukan hukum, diberikan suatu kebebasan untuk mengadakan penelitian dengan menggunakan berbagai macam metode seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, urf dan sebagainya.
Keadaan kedua yang tanpa adanya ketetapan nash inilah,hasil usaha para mujtahid berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan pandangan dan metode pengambilan hukum yang dipakai, tetapi tidak perlu diperdebatkn yang sampai dapat melemahkan syari’at Islam itu sendiri, sebab dengan cara ini, dapat dijadikan sebagai bukti akan adanya sifat kelestarian dan fleksibilitas syari’at Islam itu sendiri.

      Adapun wilayah ijtihad dalam pandangan ulama’ salaf terbatas dengan masalah-masalah fiqhiyyah, namun pada akhirnya wilayah tersebut mengembang pada aspek keislaman yang mencakup akidah, filsafat, tasawwuf, dan fiqh sendiri. Karena itu, Ibnu aL-Qoyyim al-Jawziyyah dalam I’lam al-Muwaqi’in menerangkan bahwa haram hukumnya memberikan fatwa yang menyalahi nash, bahkan ijtihad menjadi gugur bila ditemukan nash. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i “bila ada hadits yang shahih, maka buanglah pendapatku yang mengikat dan benarkanlah hadits itu”
Dalam kaitan wilayah ijtihad, Ustadz Muhammad al-Madani menyatkan dalam masalah hukum terbagi 2 kemungkinan yang perlu diantisipasi, yaitu:
a.       Masalah Qoth’iyah
Masalah-masalah yang sudah ditetapkan hukumya dengan dalil-dalil yang pasti, baik melalui dalil naqli ataupun dalil aqli. Hukum Qoth’iyah sudah pasti brlakunya sepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan dan modifikasi srta tidak ada wlayah meng-istinbath-kan hukum bagi para mujtahid.
Masalah qoth’iyah terbagi atas 3 bagian:
1)      Masalah Akidah, yakni masalah yang menentukan apakah seseorng itu mu’min atau kafir, barang siapa yang mengingkari, tentunya ia mencabut imannya. Misalnya masalah rukun iman.
2)      Masalah Amali, yakni masalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya dalam nash dan tidak mungkin terjadi perselisihan. Misalnya ketentuan bilngan sholat dan sebagainya serta hukum-hukum yang bersifat dlaruri (primer), yang terdiri atas pemeliharaan agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan.
3)      Kaidah-kaidah yang pasti, dimana kaidah-kadah tersebut diintisarikan dan bersumber dari nash-nash yang qoth’iy, misalnya kaidah:
b.      Masalah Zhanniyah
Masalah-masalah yang belum jelas dalil nashnya sehingga memungkinkan adaya wilayah ijtihad dan ikhtilaf. Adapun wilayah dzaniiyah ada 3 macam, yaitu:
1)      Hasil analisa para teolog, yakni masalah yang tidak berkaitan dengan akidah keimanan seseorang. Misalnya masalahapakah Allah itu wajib berkehendak baik atau lebih baik? Sebagian Teolog mewajibkannya, sedangkan yang lain tidak ewajibkannya, karena hal itu membatasi kekuasaan Allah
2)      Aspek amaliyah yang zhanniy, yakni masalah yang belum ditentukan kaidah atau kriterianya dalam nash. Misalnya batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan haram, sebagian berpendapat sekali susuan, ada yang 3 kali susuan bahkan ada 10 kali usuan dan sebagainya
3)      Sebagian kaidah-kaidah zhanniy, yaitu masalah qiyas, sebagian Ulama’ memeganginya karena qiyas merupakan norma hukum tersendiri, dan sebagian tidak, karena qiyas bukan merupakan norma hukum tersendiri melainkan sekedar metode pemahaman nash.
Dari pembagian di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada masalah yang hukiumnya ditunjukkan oleh dalil-dalil zhanniy, yang kemudian terkenal dengan masalah fikih, serta masalah hukumnya sama sekali belum disinggung baik oleh al-Qur’an maupun Sunnah dan Ijma’. Apabila ijtihad bertentangan dengan nash, maka ijtihad itu menjadi tertolak dan batal, karena tidak ada ijtihad terhadap nash.

HUKUM ISLAM
      Adalah suatu kenyataan bahwa hukum Islam.........
      Kompetensi penetapan hukum Islam, pada hakikatnya ada pada Tuhan. Karena Di adalah Pencipta umat manusia, berikut produk-produk hukum yang mengatur kehidupan mereka. Juga, ada pada Rosulullah sebagai manusia pilihan yang diutus oleh Allah SWT untuk menerangkan norma-norma tersebut kepada umat manusia.
      Sebagaimana diketahui bahwa secara eksplisit, nash-nash al-Qur’an itu kebanyakan bersifat mujmal (global), meski ada juga yang bersifat muqoyyad (parsial). Teks-teks as-Sunnah pun, ada pada posisi yang sama. Ada yang eksplisit (zhahir), ada pula yang implisit (maknawi). Jika teka nash masih bersifat mujmal dan maknawi, maka diperlukan kajian-kajian ijtihadi sebagai penjabarannya. Sekaligus menjadi jawaban atas berbagai persoalan yang belum tersentuh oleh kedua sumber ini.
      Jika merujuk pada subjek penetapan hukumnya, para Ulama’ membagi tasyri’ menjadi dua, yakni tasyri’ samawy (ilahy) –otoritas hukumny dari Allah dan tasyri’ wadl’iy (insani) –otoritas hukumnya dari ijtihad manusia.
      Tasyri’ samawy adalah penetapan hukum yang dilakukn langsung  oleh Allah dan Rosul-Nya melalui Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat absolut (tidak berubah). Karena tidak ada yang berkompeten untuk mengubahnya kecuali Allah dan Rosul-Nya. Hal ini banyak kita temukan pada aspek ubudiyyah.
      Sedangkan tasyri’ wadl’iy adalah penetapan hukum yang dilakukan oleh para mujtahid, baik mujtahid nuntabih maupun mujtahid muthabiq. Produk hukum hasil kajian para mujtahid ini menjadi relatif berubah-rubah sesuai dengan ruang dan waktu manusia. Hal ini banyak kita temukan dalam aspek mu’amalah.
      Adapun hukum-hukum tasyri’ adalah dsar-dasar syari’at Islam atau kaidah-kaidah umum terhadap kejadian-kejadian yang masuk dalam konteksnya. Ia terambil dari hasil penelitian hukum syari’at yang secara subtansial terkandung di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Metode penetapan hukum adalah dasar-dasar syari’at Islam atau kaidah-kaidah umum yang dituangkan dalam nash-nash yang ringkas, padat dan mengandung hukum-hukum tasyri’ di atas. Hal tersebut dimaksudkan untuk memudahkan umat manusia dalam memahami prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum yang dihadapi. Perlu ditegaskan bahwa penetapan hukum dalam Islam tidak dapat dipegangi secara mutlak, kalau tidak ada nash yang memberi dasar pada kaidah-kaidah itu.
      Dengan demikian, mempelajari kaidah-kaidah sebagai metodologi penetapan hukum dimaksudkan untuk: 1) Memahami prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang berkaitan dengan materi-materi hukum; 2) Memahami kaidah-kaidah umum agar memudahkan penetapan hukum suatu masalah, dengan jalan mengelompokkan kaidah-kaidah itu ke dalam salah satu kaidah umum yang bisa diterapkan secara relevan.
      Kaidah (kulliyah fiqhiyyah) orientasinya mencakup seluruh cabang masalah hukum yang terjadi dan untuk menetapkanhukum setiap peristiwa, baik yang telah ditunjukkan secara jelas oleh nash maupun belum. Adapun kaidah penetapan hukum yang telah  disepakati ada lima: 1) الامور بمقاصدها 2) الضرر يزال; 3) اليقين لايزال بالشك; 4) المشقة تجلب التيسير; 5) العادة محكمة

KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM
      Hukum Islam bercirikan universal, yaitu adanya hukum Islam mencakup keseluruhan totalitas masyarakat dalam berbagai dimensinya, berlaku untuk seluruh umat manusia, tanpa memperdulikan domosilinya. Keuniversalan hukum islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakikat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang subtansi-subtansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam dimanapun, kapan pun dan kebangsaan apapun.
      Sebagai akibat logis dari sifat keuniversalan hukum islam adalah ketentuan hukumnya, ada yang ditujukan khusus orang-orang Islam, adapula yang khusus ditujukan untuk orang –orang non Islam. Pengkhususan ini dimaksudkan agar prinsip-prinsip hukum Islam yang ingin ditegakkan, haruslah senantiasa menghormati dan mnghargai elemen hukum yang ditegakkan oleh agama Islam. Prinsip Islam adalah tidak ada paksan dalam beragama, serta bagimu agamamu bagiku agamaku.
      Karakteristik lain dari hukum Islam adalah dinamik (al-harakah) yang bercirikan bahwa hukum Islam itu berkembang menurut kondisi yang memengaruhi seiring dengan kemajuan peradaban manusia. Karakteristik ini memberikan isyarat agar umat Islam selalu mengembangkan konsepijtihad untuk memperoleh hukum Islam secara luwes dan dapat dinikmati dalam situasi yang senantiasa berubah-ubah.
      Hukum Islam yang subtansial senantiasa tetap, sebab jika berubah berarti Islam telah kehilangan ruhnya, misalnya hukum tentang prinsip ketuhanan, kemanusiaan. Karenanya dibutuhkan hukum yang bersifat qoth’iy (pasti). Sedang hukum Islam dari sudut konfigurasinya senantiasa berubah-ubah yang pada ahirnya membentuk dinamika hukum itu dan dapat berdialog dengan situasi dan kondisi yang berbeda-beda. Karenanya maka dibutuhkan hukum yang bersifat zhanniy (dugaan yang kuat).
      Hukum Islam, sebagai suatu peraturan perundang-undangan, benar-benar dapat diterima dan diyakini oleh segenap umat Islam. Ini dikarenakan karena semua peraturan-peraturan hukum Islam menggunakan pertimbangan akal dan moral. Dorongan untuk melaksanakan hukum Islam bisa didapatkan lantaran umat Islam mempercayai keadilan hukum, menerimanya dan meyakini pahala yang akan diberikan oleh Pembuat hukum dengan mentaati peraturan-peraturan-Nya.
      Salah satu contoh bahwa hukum islam menerapkan aturan dengan memberi dorongan agama dan moral adalah mengenai kewajiban zakat. Zakat, yakni sedekah yang diwajibkan atas benda-benda berharga, tanaman, hewan ternak dan sebagainya. Banyak kita jumpai, Al-Qur’an menanamkan dalam jiwa orang yang beriman, bahwa zakat, bahkan sedekah sunnah itu membawa kebaikan bagi orang yang mengeluarkannya. Setelah itu, banyak kita jumpai hadits yang menganjurkan untuk bersedekah dan menjelaskan hukuman berat bagi orang yng tidak mau mengeluarkan zakat.
      Dengan acuan-acuan yang terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan atsar, orang yang diberi beban hukum akan merasa puas sebab ia diajak untuk mentaati hukum yang mewujudkan persamaan, bukan keadilan saja. Di samping itu, dengan mentaati hukum tersebut dia merasa akan mendapatkan ridlo Allah serta pahala di dunia dan akhirat.
      Hukum Islam merupakan hukum yang berlandaskan ide keadilan yang sempurna, menjadi hukum ideal yang memandang seluruh manusia dengan satu pandangan. Di depan hukum ini, tidak ada perbedaan antara majikan dan buruh, antara bangsawan dan rakyat.. Karena itu, aturan yang berlaku bagi mereka adalah sama. Dengan penelitian induktif, kita mengetahui bahwa Allah bermaksud mewujudkan kesejahteraan hamba-hamba-Nya. Seperti halnya ketika hukum islam menetapkan bahwa menolak suatu kemadlorotan itu lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan dan wajib menolak bahaya yang besar dengan bahaya yang kecil. Dua kaidah itu dapat diterapkan pada banyak peristiwa. Seperti halnya pengharaman riba, meski hukum positif memerbolehkan hal tersebut.
      Dasar dan kerangka hukum yang ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Hubungan tersebut antara lain apa yang disebut dengan hubungan vertikal (antara manusia dengan Tuhannya) dan hubungan horisontal (antara manusia dengan makhluk lainnya). Hubungan vertkal diwujudkan dalam konsep yang kita kenal dengan ibadah, sedangkan hubungan horisontal diatur dalam muamalah.
      Mengenai sanksi, maka hukum islam sama sekali berbeda dengan hukum-hukum buatan manusia. Hukum Islam itu memberi pahala –bagi yang mentaatinya- dan siksa di dunia juga di akhirat –bagi yang melanggarnya-. Sanksi di akhirat selamanya lebih berat daripada yang di dunia. Karena itu, orang yang beriman merasa mendapatkan dorongan kejiwaan yang kuat untuk melaksanakan hukum dan mengikuti perintah serta menjauhi larangan-larangan-Nya, meskipun dia mampu untuk meloloskan diri dari sanksi di dunia.

HUKUM POSITIF
      Hukum positif adalah hukum yang ada karena perbuatan manusia tersendiri, selain itu, adanya hukum tersebut tergantung pada suatu perbuatan mausia. Bila suatu hukum postif ada, maka akan diberikan apa yang menjadi kepunyaan seseorang, sebagai akibat dari perbuatan manusia yang menetapkannya seperti itu,. Lalu bagaimana suatu perbuatan manusia itu dpat menetapkan, dan dengan demikian mengakibatkan bahwa sesuatu yang tidak tergantung pada perbuatan bukanlah hak dan tidak akan diberikan pada seseorang, lalu sekarang menjadi hak. Tak ada di dalam segala kasus, tanpa terkecuali, bahwa manusia itu ampu membuat sesuatu yang tadinya bukan hak, sekarang menjadi hak. Tidak ada satu pun tindakan manusia yang dapat membuat, misalnya, bahwa membunuh seorang anak yang tidak berdosa adalah hak dan merupakan suatu perbuatan baik yang diperkenankan terhadap oarng lain, dalam hal ini kepada anak tersebut. Alasannya, karena dengan suatu perbuatan yang lain, yaiyu pengaturan Tuhan, telah ditetapkan justru yang sebaliknya, yaitu bahwa tidak membunuh yang tidak bersalah itu adalah hak, dan di dalamya sekaligus ditetapkan bahwa membunuh yang tidak bersalah itu dalah kejahatan. Manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk membatalkan suatu perbuatan (pengaturan) Tuhan.
      Dari sini, kita dapat mengambil kesimpulan dengan perbuatannya untuk menetapkan apa hak itu, manusia tidak dapat benar-benar mengadakan sesuatu. Jika manuzia menetapkan: membunuh seseorang yang tidak bersalah adalah kejahatan (ketidakadilan), dengan itu ia tidak menyelesaikan sesuatu. Sebab, seseorang tidak dapat membuat sesuatu menjadi kejahatan, jika sesuatu itu adalah kejahatan, menurut norma yang lebih tinggi. Jika orang menetapkan: membunuh seseorang yang tak bersalah bukanlah kejahatan, maka dengan itu pun, ia tidak menyelesaikan sesuatu, karena manusia tidak dapat membatalkan apa yang telah ditetapkan oleh undang-undang Tuhan.

KARAKTERISTIK HUKUM POSITIF
      Hukum positif -sebagaimana yang telah dipaparkan di atas- terbentuk dari realitas-realitas yang terjadi dalam masyarakat sehingga dapat diambil suatu peraturan. Sementara hasil kerja manusia bagaimanapun keadaannya tetap bisa salah, sebagaimana juga bisa benar.
      Tidak jarang suatu kaidah hukum positif berlawanan dengan kesadaran hukum masyarakat. Hukum positif adalah produk dari kekuatan-kekuatan yang melahirkannya. Meskipun sistem politik yang dianut oleh beberapa negara adalah demokrasi melalui perwakilan, tetapi hal ini belum sepenuhnya menjamin bahwa anggota-anggota badan perwakilan tadi akan mampu secara cermat menangkap aspirasi-aspirasi dan kesadaran hukum yang berkembang di dalam masyarakat, tatkala mereka merumuskan kaidah hukum positif.
      Bagaimanapun norma-norma hukum positif akan lahir sebagai hasil dari proses intelektual, sosial ekonomi dan kepentingan-kepentingan politik yang terjadi di dalam masyarakat. Karena norma hukum positif dilahirkan oleh proses politik, pada akhirnya muatan normatif suatu peraturan hukum akan selalu mencerminkan kehendak dari kekuatan politik yang paling dominan dalam mayarakat.
      Dengan melihat penjelasan di atas, maka kita mengetahui bahwa hukum positif berlaku hanya terbatas untuk orang –orang yang berdomisili di wilyah tertentu. Hal itu karena belakunya hukum positif didasarkan pada dua prinsip. 1) Prinsip teritorialitas, yaitu hukum yang berlaku hanya untuk orang-orang yang berdomisili di satu wilayah negara, baik dia itu warga negara atau warga asing dan tidak berlaku bagi orang yang berada di luar wilayah itu, meskipun ia warga negara itu; 2) Prinsip personalitas, yaitu hukum yang berlaku bagi semua warga negara, meskipun tinggal di luar tanah airnya dan tidak berlaku bagi orang asing yang tinggal di negara itu.
      Jika hukum Islam memperhatikan hubungan manusia dengan Tuhannya, maka tidak demikian dengan hukum positif. Karena hukum positif merupakan produk dari manusia. Di luar peraturan mengenai hubungan antar manusia (termasuk sosial, politik, ekonomi), tidak pernah ada kaidah atau hukum yang mengaturnya.
      Hukum positif juga dapat didefinisikan sebagai kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan sosial dan negara serta berhak memaksa orang untuk mengikutinya. Undang-undang tersebut memberikan sanksi atas pelanggaran terhadap hukum-hukumnya. Hanya saja sanksi itu selamanya hanya diberikan di dunia, karena pembuat undang-undang sedikit pun tidak menguasai urusan akhirat. Karena itu, tidak apa-apa ketika di dunia, orang mampu meloloskan diri dari sanksi ini.
      Karakteristik hukum positif yaitu sifatnya yang dapat berubah. Untuk perbuatan yang sama, sekarang manusia mempunyai undang-undang yang berbeda dengan seribu tahun yang lalu. Hukum positif tidak sama di mana pun dan juga tidak pada segala bangsa. Sedangkan hukum positif pada bangsa yang sama, tidak akan sama untuk segala zaman (tidak kekal). Ada penyebab ganda yang membuat hukum positif itu berbeda-beda dan dapat berubah, yaitu suatu penyebab subjektif dan suatu penyebab obyektif. Setiap norma hukum merupakan suatu hasil pertimbangan mengenai apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan di dalam perbuatan seseorang kepada yang lainnya.

PERBEDAAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
      Dari penjelasan di atas, baik mengenai hukum Islam ataupun hukum positif, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan keduanya secara garis besar adalah sebagai berikut:

No
Hukum Islam
Hukum Positif
1
Sumber Hukum berasal dari Allah SWT, ditetapkan dalam bentuk wahyu yang berupa al-Qur’an dan as-Sunnah yang disampaikan oleh Rasul-Nya
Sumber hukum berasal dari relitas-realitas serta perbuatan manusia yang kemudian dijadikan landasan hukum.
2
Bersifat universal, tidak mengenal ruang dan waktu
Bersifat terbatas pada ruang dan waktu
3
Hukum Islam yang subtansial senantiasa tetap. Dari sudut yang lain, bersifat dinamis
Keadaannya selalu berbeda satu sama lain dan berubah-ubah
4
Mengatur semua macam hubungan, termasuk antara manusia dengan Tuhannya
Hanya terpaku pada pengaturan hubungan antar manusia
5
Sanksi di dunia dan akhirat bagi yang melanggarnya
Sanksi hanya diberikan di dunia sehingga tak masalah jika seseorang bisa menghindarinya.

AQIDAH
      Akidah adalah bentuk masdar dari kata “aqda, ya’qidu ‘aqdan ‘aqidatan” yang berarti simpulan, ikatan, sangkutan, perjanjian, dan kokoh. Sedang secara teknis akidah berarti iman, kepercayaan dan keyakinan. Dan tumbuhnya kepercayaan tentunya di dalam hati, ia mengikatkan hati seseorang yang diyakini atau diimaninya dan ikatan tersebut tidak oleh dilepaskan selama hidupnya.
      Ibnu Taimiyyah menerangkan makna akidah dengan suatu perkara yang harus dibenarkan dalam hati, yang dengannya jiwa menjadi tenang sehingga jiwa itu menjadi yakin serta mantap tidak dipengaruhi oleh keraguan dan juga tidak dipengaruhi oleh syakwasangka. Sedang Syekh Hasan al-Banna menyatakan akidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya sehingga menjadi ketenangan jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keraguan.
      Kedua pengertian tersebut menggambarkan bahwa ciri-ciri akidah dalam Islam adalah sebagai berikut:
1.      Akidah didasarkan pada keyakinan hati, tidak menuntut yang serba rasional, sebab ada masalah tertentu yang tidak rasional dalam akidah;
2.      Akidah Islam sesuai dengan fitrah manusia sehingga pelaksanaan akidah menimbulkan ketentraman dan ketenangan;
3.      Akidah Islam diasumsikan sebagai perjanjian yang kokoh, maka dalam pelaksanaan akidah harus penuh keyakinan tanpa disertai kebimbangan dan keraguan;
4.      Akidah dalam Islam tidak hanya diyakini, lebih lanjut perlu pengucapan kalimah “thayyibah” dan diamalkan dengan perbuatan shaleh;
5.      Keyakinan dalam akidah Islam merupakan masalah yang supraempiris, maka dalil yang dipergunakan dalam pencarian kebenaran tidak hanya didasarkan atas indra dan kemampuan anusia, melainkan membutuhkan wahyu yang dibawa oleh para Rosul Allah.
Pada perkembangan selanjutnya, term akidah identik dengan term iman, tauhid, ushuluddin, ilmu kalam, fiqh akbar, dan teologi jika akidah itu telah menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri.
Menurut Mahmud Syaltout, akidah ialah sisi teoritis yang harus pertama kali diimani atau diyakini dengan keyakinan yang mantap tanpa keraguan sedikitpun. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya nash-nash al-Qur’an maupun hadits mutawatiryang secara eksplisit menjelaskan persoalan itu, disamping adanya konsensus para ulama sejak pertama kali ajaran Islam didakwahkan oleh Rasulullah. Dan perkara itu pula yang menjadi inti ajaran Allah kepada para Rasul sebelumnya.
Al-Qur’an menyebut akidah dengan istilah “iman” sedangkan syari’ah dengan istilah “amal shalih”. Adapun ayat-ayat yang berbicara tentang hubungan akidah dan syari’at dijabarkan dengan hubungan dan keterkaitan antara iman dan amal saleh banyak sekali.
Lebih lanjt, Mahmud Syaltoutmengelaborasi bahwa dalam ajaran Islam, akidah merupakan landasan atau akar (al-ashl) sedangkan syari’ah merupkan batang, cabang-cabangnya (furu’). Hal itu berimplikasi bahwa syari’ah tidak bisa berdiri sendiri atau tumbuh tanpa akar yang berupa akidah. Dan syari’ah tanpa akidah bagaikan bangunan yang melayang karena tidak ada pondasinya. Namun demikian, Islam menyatakan bahwa hubungan antara keduanya merupakan suatu keniscayaan, yang artinya bahwa antara akidah dan syari’ah tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Jadi, ajaran Islam terdiri dari dua pokok, yatitu akidah dan syari’ah

SYARI’AH
      Secara etimologi, Syari’ah berarti jalan yang lurus (thariqoh mustaqimah) yang diisyaratkan dalam QS. Al-Jatsiyah: 18. Atau jalan yang dilalui air untuk diminum, atau juga tangga atau tempat naik yang bertingkat-tingkat. Sedngkan makna terminologi, syari’ah mempunyai beberapa pengertian yang dikeukakan oleh beberapa ahli sebagai berikut:
      Al-Thanawi menjelaskan bahwa syari’ah adalah hukum-hukum yang diadakan oleh Allah SWT yang dibawa oleh salah satu Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, baik hukum yang berkaitan dengan cara berbuat yang disebut dengan “far’iyah atau amaliyah” yang untuknya dihimpun Ilmu fiqh, maupun yang berkaitan dengan kepercayaan yang disebut dengan “ashliyah” atau “i’tiqdiyah” yang untuknya dihimpun Ilmu Kalam.
      Sedangkan Muhammad Sallam Madzkur menerangkan bahwa syari’ah adalah hukum yang ditetapkan Allah SWT melalui Rosul-Nya, agar mereka mentaati hukum itu atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan akidah, amaliyah maupun akhlaq.
      Ketika dipakai dalam pembahasan hukum, makna syari’ah adalah segala sesuatu yang disyari’atkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, sebagai jalan lurus untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
      Lalu, apakah syari’ah tersebut mencakup aspek ajaran keagamaan atau tidak. Dalam hal ini, Manna’ al-Qathan berpendapat bahwa istilah syari’ah itu mencakup akidah dan akhlaq disamping aspek hukum, sebagaimana dia katakan bahwa syari’ah adalah segala ketentuan Allah yang disyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya. Dengan pengertiannya ini, dia ingin membedakan antara syari’ah sebagai ajaran yang datang langsung dari Tuhan, dengan perundang-undangan hasil pemikiran manusia. Namun dia mengidentikkan syari’ah dengan agama.
      Mahmud Syaltout memberikan pengertian yang jelas, dia mengartikan bahwa syari’ah itu adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah, atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan tersebut, untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan umat manusia lainnya, orang Islam dengan non-muslim, dengan alam, maupun dlam menata kehidupan ini.
      Mahmud Syaltout lebih jauh berpendapat bahwa aspek akidah tidak termasuk pada pembahasan dan kajian syari’ah karena akidah menurutnya merupakan landasan bagi tumbuh dan berkembangnya syari’ah. Sedang syari’ah merupakan sesuatu yang harus tumbuh di atas akidah tersebut.
      Namun, term syari’ah selanjutnya berkembang menjadi sebutan hukum Islam karena pembuat hukum sebenarnya adalah Allah SWT. Dilihat dari segi ilmu hukum ini, syari’ah merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dlam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Menurut Muhammad Mushlih al-Din, hukum Islam adalah sebagai perintah Allah yang diwahyukan kepada Muhammad SAW.
      Ada dua istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan hukum Islam, yakni 1) Syari’at Islam dan 2) Fiqih Islam. Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, Syari’at Islam disebut Islamic Law, sedang fiqh Islam Islamic Jurisprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at Islam, sering dipergunakan kata-kata hukum syari’at atau hukum syara’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar