Minggu, 22 Mei 2011

IBNU TAIMIYAH


1.   Latar belakang Ibnu taimiyah
Taqqiyyuddin Ibnu Taimiyyah bin Abdilhalim,kelahiran Haran tahun 661 H,di sebuah kota kecil di Syiria (Irak). Beliau dibesarkan dalam lingkungan intelektual murni, yang mayoritas komunitas disekitar lingkungan tersebut menekuni bidang-bidang keilmuan, seperti fiqih dan juga ilmu-ilmu agama lainnya.
Ketika Ibnu Taimiyah berusia 21  tahun, menggantikan kedudukan Ayahnya sebagai guru dan khatib pada masjid-masjid sekaligus mengawali karirnya yang kontroversial dalam kehidupan masyarakat sebagai teolog yang aktif. Ibnu Taimiyah dikenal sebagai seorang pemikir, tajam intuisi, berpikir dan bersikap bebas, setia kepada kebenaran, lebih dari itu, penuh keberanian dan ketekunan. Ia memiliki semua persyaratan yang menghantarkannya kepada pribadi luar biasa.
Ibnu Taimiyah adalah cermin pribadi yang mampu membangkitkan rasa kagum yang paling dalam pada sebagian masyarakat sekaligus juga caci maki pada sebagian yang lain. Para penyanjungnya memuja dan menghormatinya sebagai seorang wali, sedang orang-orang yang menentangnya melemparkan kutukan dengan segala macam caci-maki karena ia dianggap melanggar batas dan melakukan penyelewengan. Anggapan negatif mereka biasanya terungkap dalam bentuk kematian tajam dan kadang juga deraan fisik yang memilukan.[1]
  1. Teori politik Ibnu Taimiyah
Studi ini diawali dengan penelitian kritis terhadap khilafah yang berkembang hingga masa Ibnu Taimiyah, seraya menyinggung adanya kebutuhan akan pendekatan yang lebih kritis terhadap pemerintahan Islam. Artinya, bila perkembang sejarah tidak terabaikan, maka nilai-niali prinsip teori yang kritis tentu akan terpelihara. Teori khilafah tidak mampu memenuhi tujuan itu kerena terlalu bersandar kepada sejarah sehingga penelitian yang dimaksud kehilangan kontak dengan tujuan semula (idealitanya).[2]
Menurut pemikiran Ibnu Taimiyah, beliau menginginkan pemerintahan berdasarkan syari’at dengan kata lain pemerintahan itu harus berlandaskan langsung dengan hukum Tuhan. Ibnu taimiyah sendiri tidak pernah secara langsung menawarkan bentuk pemerintahan apa yang baik untuk digunakan. Namun, dari statement  Ibnu Taimiyah mengenai penjelasan tentang  pemerintahan bisa dikatakan beliau lebih condong teokrasi.
  1. Pelaksanaan amanat negara menurut Ibnu Taimiyah
Menunaikan amanat-amanat ada dua macam, yaitu :
1)      Wilayat (jabatan-jabatan dalam pemerintahan)
Jabatan-jabatan dalam pemerintahan sendiri menurut Ibnu Taimiyah terdiri atas empat fasal, yakni:
Ø      Memakai tenaga yang lebih patut (Ashlah)
Ø      Memilih yang lebih utama (Afdhal)
Ø      Amanah dan kekuatan yang jarang ditemui pada diri seorang manusia
Ø      Mengenal yang lebih maslahat dan cara kesempurnaanya[3]
2)      Harta kekayaan
Sebagaimana firman Allah swt,”maka jika sebagian kamu  mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya.”( Q.s.Al-Baqarah: 283)
Ø      Yang termasuk dalam amanat harta
Adalah harta tunai (harta yang ada) dan hutang piutang yang umum maupun khusus, seperti mengembalikan wadi’ah (harta titipan), harta persekutuan dalam dagang, muwakkal (harta yang di wakilkan kepengurusannya), harta bagi hasil, harta penanggungjawab anak yatim, harta waqaf dan sejenisnya.
Ø      Macam-macam harta negara
Harta kekayaan negara yang sumber rujukanya dari Al-Qur’an dan sunah, meliputi tiga macam, yakni:
1.      Ghanimah, Adalah harta yang berhasil dirampas dari orang-orang kafir melalui peperangan
2.      Sedekah (zakat), Mengenai sedekah (zakat) ini diperuntukkan bagi mereka yang disebutkan allah swt dalam kitabnya
3.      fa’i, adalah harta rampasan yang diperoleh tanpa pertempuran
Ø      Kezaliman yang terjadi di kalangan para pemimpin dan rakyat
Kezaliman telah terjadi secara meluas, mulai dari kalangan atas ( pemimpin) hingga kalangan bawah (rakyat biasa), dengan merancukan segala sesuatu yang telah ditetapakan oleh agama. Mereka mengambil sesuatu yang diharamkan, ironisnya sesuatu  yang seharusnya dipatuhi justru mereka tentang dan ditinggalkan.
Ø      Arah pendistribusian harta
Untuk mengalokasikan subsidi, haruslah disesuaikan dengan tingkat kebutuhan yang paling utama dan terpenting dari kaum Muslimin. Sehingga kebutuhan masyarakat secara umum dapat terpenuhi, sekaligus membawa manfaat bagi kehidupan mereka.[4].                            
C. Epilog
Dari pemaparan diatas dapat di implikasikan, Menurut pandangan Ibnu Taimiyah, pelaksanaan amanat negara harus diserahkan kepada mereka yang mampu mengembannya,dan sekaligus menetapkan hukum secara adil. Hal itu merupakan sebuah siyasah yang adil dan termasuk wujud dari pemerintahan yang saleh. Disamping itu juga Ibnu Taimiyah menentang teori kekhilafahan dan mengajukan teori politik khilafah klasik.


[1] Khalid Ibrahim Lindan, Teori Politik Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995, Hal 20-23
[2] Ibid hal 36
[3] Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyah, Surabayah: Risalah Gusti, 1999, Hal 3-19
[4] Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989, Hal 44-58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar